Minggu, 09 November 2014

MITIGASI INTERFERENSI WIMAX TERHADAP DINAS SATELIT
STUDI KASUS BWA LINTASARTA TERHADAP BSS TRANSVISION DI KOTA BANDAR LAMPUNG 
(budi.ramdhani@gmail.com staf Loka Monitor Spektrum Frekuensi Radio Bandar Lampung)




PENGERTIAN
BSS (Broadcast Satellite Service) TransVIsion
Dinas tetap satelit / BSS (Broadcast Satellite Service) merupakan Komunikasi radio antara stasiun  bumi pada tempat-tempat tetap tertentu dengan atau menggunakan satelit, salah satu aplikasi BSS adalah DTH (Direct to Home) untuk layanan penyiaran televisi berlangganan berbasis satelit.

Seluruh pita 3.4 GHz s.d 4.2 GHz (Super ext. C band) ditetapkan sebagai merupakan frekuensi yang paling banyak digunakan untuk BSS karena mempunyai propagation loss yang rendah dalam menembus hujan (terutama pada daerah yang memiliki intensitas curah hujan yang tinggi termasuk wilayah equator) dibandingkan pita frekuensi yang lebih tinggi seperti Ku Band. namun memiliki kelemahan rentan terhadap interferensi dari komunikasi terrestrial
Berikut Posisi Satelit yang digunakan BSS Transvision (Telkom-1) berikut coverage nya


Dibawah ini kanal carrier yang dipakai downlink BSS TransVision

WiMAX (Aplikanusa Lintasarta)
BWA (Broadband Wireless Access) atau Akses Pita lebar berbasis nirkabel dengan kecepatan tinggi (1.5 Mbps s.d  128 Mbps), WiMAX merupakan salah satu implementasi BWA terrestrial sesuai standar IEEE 802.16 yang ditetapkan WiMAX Forum pada April 2001.


Peraturan Menteri Kominfo No. 9/PER/M.KOMINFO/1/2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Pada Pita Frekuensi Radio 3.3 GHz Dan Migrasi Pengguna Frekuensi Radio Eksisting Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (Wireless Broadband) Dari Pita Frekuensi Radio 3.4 s.d 3.6 GHz Ke Pita Frekuensi Radio 3.3 GHz.
Jadi sejak tahun 2009 pengguna BWA maupun FWA sudah pindan dari pita 3.4 s.d 3.6 GHz ke pita 3.3 GHz, termasuk diantaranya PT. Lintasarta.

DAFTAR LOKASI YANG TERINDIKASI GANGGUAN
Kota Bandar Lampung
Area Jalan Kamboja Kebon Jahe Lampung
Area Jalan .Jendral Sudirman Enggal Lampung



POINTING ANTENA BSS TRANSVISION
Pointing antena untuk menentukan azimuth dan elevasi sehingga mendapatkan kualitas sinyal terima yang paling baik


1.      PENENTUAN AZIMUTH

Azimuth : 28° (titik referensi kota Bandar Lampung)

1.      PENENTUAN ELEVASI

              Elevasi: 73.3° (titik referensi dari kota bandar lampung)


HASIL  PENGUKURAN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Lokasi : KANTOR PLASA TELKOM  SEKITAR  JL. JEND. SUDIRMAN KEL. ENGGAL KEC. TANJUNG KARANG PUSAT KOTA    BANDAR LAMPUNG
Koordinat: 5 25 10.8S  105 15 38.4E

HASIL POINTING


  
HASIL PENGUKURAN INTERFERENSI MENGGUNAKAN SPECTRUM ANALYZER


Tx1 : frek. 3580 MHz (downstream1) ,  signal level : -84.27 dBm , Polarisasi: Horizontal
Tx2 : frek. 3600 MHz (downstream2), signal level : -85.37 dBm, Polarisasi: Vertikal
Tx3 : frek. 3580 MHz (downstream3), signal level : -83.76 dBm, Polarisasi: Horizontal
Tx4 : frek. 3600 MHz (downstream), signal level : -84.49 dBm, Polarisasi: Vertikal


HASIL PENGUKURAN INTERFERENSI MELALUI RECEIVER SET TOP BOX PT. INDONUSA TELEMEDIA (TRANSVISION)
Tanggal Pengukuran : 5 Agustus 2014


HASIL PENGUKURAN MENGGUNAKAN ANTENA HORN UNTUK MENCARI SUMBER INTERFERENSI TERESTRIAL

Posisi Konstelasi BWA Lintasarta terhadap BSS TransVision  :
1.      Vertikal View


 .      Horizontal View


1.      Mapping Konstelasi


Kajian Teori
Dalam The 3rd  Interim Meeting  dari APT Forum Wireless dengan tema “Co-existence of Broadband Wireless Access (BWA) Networks in the 3400-3800MHz Band and Fixed Satellite Service (FSS) Networks in the 3400-4200MHz” di Bangkok Thailand, menghasilkan beberapa poin kesimpulan tentang masalah Interferensi BWA terhadap BSS.
1 Co-frekuensi Intereferens: Gangguan akan  disebabkan oleh BWA bekerja di 3,4-3,6 GHz terhadap sistem BSS  yang menerima sinyal satelit dengan frekuensi yang sama.  Dibutuhkan mitigasi dengan Jarak separasi  puluhan kilometer, bahkan diperlukan lebih dari 100 km untuk  beberapa kasus, jika tidak ada pengaturan shielding di stasiun bumi BSS sebagai kasus terburuk. yang dibutuhkan jarak pemisah yang variatif untuk memproteksi pada masing-masing stasiun bumi BSS  karena tergantung pada kondisi  geografis dan karakteristik operasi.
2 Out-of-band Emission (OOBE) Interferens: Out-of-band emisi dari BWA yang beroperasi di 3,4-3,6 GHz juga dapat mempengaruhi BSS sistem menerima sinyal pada pita yang berdekatan/adjacent band dari 3,6-4,2 GHz. Dengan asumsi bahwa peralatan BWA  dengan out-of-band emisi pada kondisi level normal, diperlukan separasi jarak sampai sekitar 2 km antara transmitter BWA  dan stasiun receiver BSS stasiun.  Jika tambahan filter dapat diimplementasikan pada BTS BWA untuk mengurangi level emisi yang tidak diinginkan dan penggunaan BWA Stasiun terminal indoor, jarak separasi dapat dikurangi sampai 0,5 km.
3 Saturasi pada BSS Receiver/Desensitisasi Receiver : Sinyal transmiter BWA  dalam pita 3,4-3,6 GHz pada jarak dekat akan  juga menyebabkan saturasi pada receiver BSS dengan LNB yang beroperasi di 3,4 - 4,2 GHz . Meskipun sejumlah  solusi teknis (misalnya filter, sheilding dll) mungkin tersedia  pada prinsipnya untuk meminimalkan / mengatasi masalah, yang paling  praktis adalah dengan menambahkan sebuah filter bandpass di depan receiver BSS. Menurut uji lapangan yang dilakukan, off-the-shelf filter terbukti dapat mengurangi tingkat gangguan sampai dengan 10 dB. denga solusi ini dibutuhkan jarak separasi sekitar 0,5 - 0,6 km antara BWA dan BSS sistem. Untuk BSS  sistem tanpa menerapkan filter, diperlukan  jarak separasi sekitar 1,2 km akan diperlukan.

Kajian tentang  Interferensi Fixed Wireless Access (FWA) terhadap  Broadcast Satellite Services (BSS) oleh Office of the Telecommunications Authority (OFTA) di Hongkong sebuah Badan Otoritas Telekomunikasi Hongkong, telah membagi interferensi FWA terhadap BSS menjadi tiga jenis yaitu; in-band interference, out of band emission, dan receiver saturation.
A. In-band Interferens dari FWA: Tanpa pengaturan Koordinasi, Sistem BWA beroperasi di pita 3,5 GHz akan menyebabkan interferensi terhadap stasiun BSS di extended C band  (3,4-3,6 GHz) jika dua sistem tersebut beroperasi pada frekuensi yang sama
B. Saturasi pada stasiun BSS.  Sistem FWA di pita 3,3 GHz yang letaknya dekat dan posisi antenna clear  line-of-sight terhadap stasiun BSS akan menyebabkan gangguan terhadap band  3,4-4,2 GHz jika jarak separasi kurang dari sekitar 650 meter dan tanpa adanya proteksi. Dengan menambahkan filter bandpass di BSS stasiun front-end memberikan 10 dB loss pada diterima Sinyal BWA dan membutuhkan  jarak separasi 130-380 meter tergantung pada jumlah BWA interferers.
C. Out-of-band emission dari sistem FWA di 3,3 GHz Band seharusnya tidak menyebabkan interferensi terhadap receiver FSS dalam dalam band  3,4 - 4.2 GHz, jika limit emisi pada transmitter BWA telah sesuai.
Desensitisasi pada receiver BSS Transvision, desensitisasi merupakan bentuk interferensi elektromagnetik disebabkan berkurangnya sensitivitas receiver saat menerima sinyal yang diinginkan karena emisi dari sistem lain yang terlalu kuat jatuh tepat pada receiver BSS pada frekuensi yang berdekatan.
Level Sensitivitas penerima ditentukan oleh thermal noise dari komponen elektronik. Ketika sinyal yang diterima, sinyal spurious tambahan juga akan diproduksi dalam receiver  karena perangkat tidak benar-benar linear. Ketika sinyal spurious memiliki level daya yang kurang dari level daya noise floor, maka penerima beroperasi secara normal. Ketika sinyal-sinyal palsu memiliki tingkat daya yang lebih tinggi dari noise floor thermal, maka penerima peka. Hal ini karena level sensitivitas berkurang karena tingkat sinyal spurious.
Ketika sebuah sinyal penginterferens diterima akan menyebabkan perubahan  pada level sinyal spurious, jika sinyal penginterferen kuat menghasilkan sinyal spuriuosyang  kuat. Gangguan tersebut dapat berada pada frekuensi yang berbed, tetapi sinyal spurious yang disebabkan oleh gangguan juga dapat muncul pada frekuensi yang sama dengan sinyal yang menarik. Ini adalah sinyal-sinyal spurious yang menurunkan kemampuan penerima dengan menaikkan level sensitivitas.
BSS pada posisi antenna clear line of sight/ saling facing menyebabkan saturasi pada receiver BSS 
dengan LNB extended C band  3,4 - 4,2 GHz. Meskipun sejumlah solusi teknis (misalnya band pass filter, wall sheilding) dapat meminimalkan / mengatasi masalah, yang paling praktis adalah dengan menambahkan sebuah filter bandpass di depan BSS penerima. Menurut tes lapangan yang dilakukan, off-the-shelf filter dapat mengurangi tingkat gangguan sampai dengan 10 dB. dengan ini solusi, jarak separasi sekitar 0,5 - 0,6 km adalah diperlukan antara BWA dan BSS sistem. Untuk BSS mereka sistem tanpa menerapkan solusi filter, pemisahan jarak sekitar 1,2 km akan diperlukan.



Gambar diatas menunjukkan daya yang sangat besar dari transmitter BWA masuk pada wilayah operasi filter LNB sehingga filter LNB BSS akan mengalami saturasi yang akan bekerja pada wilayah non linier.

PEMBAHASAN
1.       Berdasarkan hasil pengukuran melalui Spectrum Analyzer dan Receiver Settop Box, tidak ditemukan adanya In band interferensi pada pita BSS maupun keempat frekuensi  transmisi carrier downlink milik PT. Indonusa Telemedia (Transvision).
2.       Ditemukan adanya sinyal adjacent band FWA terestrial pada pita 3.3 GHz milik PT. Lintasarta pada Stasiun BSS terindikasi gangguan, namun hal tersebut sangat kecil kemungkinan dapat mengganggu receiver BSS TransVision.
3.       Berdasarkan nilai azimuth dan elevasi pointing antena receiver  terminal satelit BSS direct to home (DTH) Transvision yang berindikasi terganggu berada pada posisi clear line of sight (LOS) saling facing dengan antena sektoral FWA Point to Multipoint polarisasi vertikal PT. Lintasarta (ber-ISR) dalam jarak cukup dekat kurang dari 1 km. telah mengalami desensitisasi pada receiver LNB DTHnya yang meyebabkan bandpass filter mengalami saturasi sehingga melebar melebihi batas operasionalnya (3400 MHz – 4200 MHz)

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengukuran melalui Spectrum Analyzer dan Receiver Settop Box, tidak ditemukan adanya In band interferensi pada pita BSS maupun keempat frekuensi  transmisi carrier downlink milik PT. Indonusa Telemedia (Transvision).

Namun ditemukan adanya sinyal adjacent band FWA terestrial pada pita 3.3 GHz milik PT. Lintasarta yang terindikasi menyebabkan penurunan kualitas sinyal pada stasiun BSS Transvision, namun hal tersebut tidak mengakibatkan intermittent/ gambar patah-patah yang mengganggu receiver BSS TransVision.

Berdasarkan nilai azimuth dan elevasi antena receiver  terminal satelit BSS direct to home (DTH) Transvision yang berindikasi menurunnya kualitas sinyal  berada pada posisi clear line of sight (LOS) saling facing dengan antena sektoral FWA Point to Multipoint polarisasi vertikal PT. Lintasarta dalam jarak cukup dekat kurang dari 1 km.
Penurunan Kualitas sinyal pada receiver BSS Transvision berdasarkan pengukuran di lapangan dan  hasil kajian yang diambil dari The 3rd  Interim Meeting APT Forum Wireless in Bangkok  dan kajian dari Office of the Telecommunications Authority (OFTA) Hongkong, maka kemungkinan telah terjadi:
1.      Saturasi pada BSS Receiver/Desensitisasi Receiver : Sinyal transmiter BWA  dalam pita 3,4-3,6 GHz pada jarak dekat akan  juga menyebabkan saturasi pada receiver BSS dengan LNB yang beroperasi di 3,4 - 4,2 GHz . Meskipun sejumlah  solusi teknis (misalnya filter, sheilding dll) mungkin tersedia  pada prinsipnya untuk meminimalkan / mengatasi masalah, yang paling  praktis adalah dengan menambahkan sebuah filter bandpass di depan receiver BSS. Menurut uji lapangan yang dilakukan, off-the-shelf filter terbukti dapat mengurangi tingkat gangguan sampai dengan 10 dB. untuk solusi ini dibutuhkan mitigasi dengan jarak separasi sekitar 0,5 - 0,6 km antara BWA dan BSS sistem. Untuk BSS  sistem tanpa menerapkan filter, diperlukan  jarak separasi sekitar 1,2 km akan diperlukan.

2.      Out-of-band Emission (OOBE) Interferens: Out-of-band emisi dari BWA yang beroperasi di 3,4-3,6 GHz juga dapat mempengaruhi BSS sistem menerima sinyal pada pita yang berdekatan/adjacent band dari 3,6-4,2 GHz. Dengan asumsi bahwa peralatan BWA  dengan out-of-band emisi pada kondisi level normal, diperlukan separasi jarak sampai sekitar 2 km antara transmitter BWA  dan stasiun receiver BSS stasiun.  Jika tambahan filter dapat diimplementasikan pada BTS BWA untuk mengurangi level emisi yang tidak diinginkan dan penggunaan BWA Stasiun terminal indoor, jarak separasi dapat dikurangi sampai 0,5 km.

Stasiun milik PT. Aplikanusa Lintasarta mempunyai izin (ISR) dengan parameter teknis yang sesuai.
Rekomendasi  untuk Terminal Satelit (BSS receiver) TransVision pada jarak kurang dari 1 km dan posisi clear LOS dengan antenna Lintasarta:
1. Memakai  wall shielding, Antenna DTH Transvision dihalangi dinding gedung sehingga tidak clear LOS dengan antena Lintasarta, hal ini akan mengalami losses sebesar ±20 dB namun akan terhindar dari interferensi.
2.Memakai filter tambahan (front end filtering) ,Dengan menggunakan filter yang lebih sempit akan mengurangi level sinyal interferensi sebelum sampai pada discriminator.
3.Memakai sangkar faraday pada LNB receiver BSS Transvision



KAJIAN  MONITORING PENGGUNA FREKUENSI MARITIM
DI WILAYAH LAMPUNG
(budi.ramdhani@gmail.com staf Loka Monitor SFR Bandar Lampung)

Latar Belakang
Penyebab kecelakaan kapal penumpang dengan kapal tanker di Selat Sunda, pada tanggal 26 September 2013, dinilai akibat buruknya sistem komunikasi kelautan (SKK)  GMDSS . Saat ini banyak kapal Indonesia yang SKK-nya buruk. Tapi, tapi kita tidak tahu apakah masalahnya ada pada SKK dari kapal Indonesia atau SKK dari kapal asing itu. Yang jelas, kalau kedua SKK kapal itu berjalan normal,  kecelakaan tersebut tak perlu terjadi
Mayoritas SKK milik kapal Indonesia memang buruk sehingga kecelakaan justru sering terjadi di wilayah persilangan dan pelabuhan, bukan di lautan. pemerintah dituntut memberikan perhatian terhadap SKK kapal Indonesia, sebab kepadatan arus lalu lintas di perairan Indonesia sekarang semakin tinggi, terutama di perairan Jawa, Malaka, Banda, dan Makassar.

SKK  standar GMDSS memang mahal hingga sekitar 10% dari harga sebuah kapal, karena alatnya memang banyak mulai dari radar, radio amatir, EPIRB (emergency position indicator radio beacon), Inmarsat Transceiver, AIS (automatically indicator system), dan sebagainya..

Bahkan, pemerintah perlu memberlakukan persyaratan SKK yang sesuai standar GMDSS  dan bila tidak kapal tidak boleh jalan. Musibah kecelakaan kapal yang membawa korban jiwa terjadi di perairan Selat Sunda, Kapal Motor Penumpang (KMP) Bahuga Jaya yang mengangkut 215 penumpang dan 78 unit berbagai jenis kendaraan tenggelam setelah bertabrakan dengan tanker MT Norgas Cathinka, tepatnya 4 mil dari Bakauheni, Lampung.


Dasar Hukum
§  Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
§  Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
§  PerMen Perhubungan No.8 Tahun 2005 Tentang Telekomunikasi Pelayaran
§  PerDirJen Postel No.266 Tahun 2995 Tentang Persyaratan Teknis Alat Dan Perangkat Radio Maritim


  

Pendahuluan
Potensi pengguna SKK dalam hal ini frekuensi maritim memiliki peran yang strategis, wilayah Lampung dengan panjang garis pantai 1.105 km atau lebih dari 70% dari daerahnya berbatasan dengan laut sehingga arus lalu lintas kapal di laut jawa, selat sunda dan samudera Hindia telah menjadi area pemantauan dan pengawasan, kemudian kedudukannya sebagai pintu gerbang arus penyeberangan kapal antara pulau sumatera dan Jawa  melalui pelabuhan Bakauheuni serta terminal komoditi barang melalui pelabuhan Panjang.

Pelabuhan di Lampung
Terdapat 9 pelabuhan yang sifatnya open port baik skala kecil maupun skala besar yang terdaftar di ditjen Hubla Kementerian Perhubungan, berikut tabelnya:
DAFTAR PELABUHAN (OPEN PORT)  DI PROVINSI LAMPUNG
Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan Tahun 2012
NO
NAMA PELABUHAN
KATEGORI
LOKASI
1
BAKAUHENI
BESAR
LAMPUNG SELATAN
2
KALIANDA
KECIL
LAMPUNG SELATAN
3
KOTA AGUNG
KECIL
TANGGAMUS
4
KRUI
KECIL
PESISIR BARAT
5
KUALA PENET
KECIL
LAMPUNG TIMUR
6
LABUHAN MARINGGAI
KECIL
LAMPUNG TIMUR
7
PANJANG
BESAR
BANDAR LAMPUNG
8
TELUK BETUNG
KECIL
BANDAR LAMPUNG
9
WAY SEPUTIH
KECIL
TULANG BAWANG

Pelabuhan Panjang

Pelabuhan yang dikelola oleh PT. Pelindo II ini digunakan untuk mengangkut pertambangan dan agribisnis, barang untuk ekspor, impor dan distribusi domestik.Dengan terminal kontainer dilengkapi dengan dua container crane, lima transtainers, loader dan super stacker, serta terminal curah, Pelabuhan Panjang siap untuk melayani pengguna yang lebih baik

Main facilities
Location : Panjang, Bandar Lampung province 
Coordinates: 5° 28` 23" S, 105° 19` 03" E
Land area: 105 Ha

Vessel Service Facilities
Quay length : 1419 m
Quay Width : 176.7 m2
Total Quay : 54.091 m2
Extensive Pool : 276.200 m2
Flow Depth: 8 -15 mLWS
Pool Depth: 7 - 16 mLWS
Holding Ship : 5 Units
Pilot Ship : 3 Units

Cargo Service Facilities
Field Container: 75.000 m2
Field Stacking: 6,000 m2
Warehouse : 19.680 m2
Mechanical tools
Container Crane : 3 Unit
Transtainer : 5 Unit
Diesel Forklift : 3 Unit
Top Loader : 1 Unit
Side Loader : 1 Unit
Mobile Crane : 1 Unit
Chassis : 15 Unit
Head Truck : 13 Unit
Rubber Tyre Gantry Crane : 5 Unit
Gantry Jib Crane : 4 Unit 

Address : Jl.Yos Sudarso No.334, Panjang, Bandar Lampung
Phone : +62721-31149



Grafik dibawah merupakan trafik kapal yang bersandar di Pelabuhan Panjang (pengamatan
dilakukan selama seminggu dari tgl 24 agustus 2014 s.d 3 september 2014)

Trafik di Pelabuhan Panjang didominasi oleh jenis kapal Kargo dan kapal tanker, dengan intensitas  kedatangan 3 (tiga) kapal perhari.

Pelabuhan Bakauheni
Bakauheni adalah sebuah pelabuhan penyeberangan yang dikelola oleh PT. ASDP Indonesia Ferry yang terletak di Kecamatan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan. Terletak di ujung selatan dari Jalan Raya Lintas Sumatera, pelabuhan Bakauheni terdiri atas 6 (enam) dermaga.
Ratusan trip feri penyeberangan dengan 24 buah kapal feri dari beberapa operator berlayar mengarungi Selat Sunda yang menghubungkan Bakauheni dengan Merak di Provinsi Banten, Pulau Jawa. Feri-feri penyeberangan ini terutama melayani jasa penyeberangan angkutan darat seperti bus-bus penumpang antar kota antar provinsi, truk-truk barang maupun mobil pribadi.

Grafik dibawah merupakan trafik kapal yang bersandar di Pelabuhan Panjang (pengamatan

dilakukan selama seminggu dari tgl 24 agustus 2014 s.d 5 september 2014
Trafik di Pelabuhan Bakauheni didominasi oleh jenis kapal Penumpang berjenis Roll on Roll off / RoRo, dengan intensitas  kedatangan 82 (delapan puluh dua) kapal perhari.

terdapat 24 (dua puluh empat) operator kapal domestic yang melayani penyeberangan Bakauheni-Merak, berikut daftarnya:

Trafik Penyeberangan kapal peBakauheni–Merak termasuk ke dalam golongan trafik padat yang ada di Indonesia dengan Intensitas lebih dari 160 (seratus enam puluh kapal ) per hari. Wilayah tersebut juga termasuk wilayah persimpangan antara kapal-kapal penumpang dan kapal-kapal kargo ataupun tanker intercontinental.
Dibawah ini kondisi trafik secara actual penyeberangan Bakauheni-Merak melalui pantauan satelit Inmarsat:

Navigasi Kapal (Mercusuar)
Lampung memiliki 8 (delapan) mercusuar,  di sepanjang garis pantai dan pulau sekitarnya, berikut daftar mercusuar yang ada di wilayah Lampung:
1.        Mercusuar Tanjung Cukuh Balimbing di Kab. Pesisir Barat
2.        Mercusuar Ujung Cukuh Batu Beragam di Kab. Pesisir Barat
3.        Mercusuar Krui di Kab. Pesisir Barat
4.        Mercusuar Pulau Segama di Laut Jawa Kab. Lampung Timur
5.        Mercusuar Pulau Pisang di Kab. Pesisir Barat
6.        Mercusuar Serdang di teluk lampung Kab. Lampung Selatan
7.        Mercusuar Tanjung Tua di Lampung Selatan
8.        Mercusuar Ujung Walor di Kab. Pesisir Barat
Gambar di bawah ini mapping posisi mercusuar yang ada di wilayah Lampung (tanda seru warna merah):

Sampai saat ini belum diketahui , apakah mercusuar tersebut ada yang dilengkapi dengan peralatan radio Komunikasi maritime MF/HF/VHF atau bahkan telah bahkan telah menjadi Stasiun Radio Pantai (SROP) / Coast Station.

Sistem Komunikasi Kelautan (SKK)
Menurut PM 26 Tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran , sarana  telekomunikasi pelayaran terbagi atas:
a.       Stasiun radio Pantai (coast station)
b.      Stasiun radio Kapal (Vessel  station)

Sedangkan  jenis telekomunikasi dalam pelayaran tediri atas:
1.       GMDSS (global maritime distress and safety system)
2.       VTS (vessel traffic system)
3.       SRS (ship reporting system)
4.       LRIT (Long range indentification and tracking of Ships)

Fungsi –fungsi dari jenis telekomunikasi pelayaran di atas adalah:
1.       GMDSS (global maritime distress and safety system)
·         Alerting / pemberitahuan tentang adanya bahaya
·         SAR / search and rescue
·         Tanda penentuan lokasi kapal
·         Komunikasi antar anjungan kapal
·         Komunikasi umum
2.       VTS (vessel traffic system)
·         Memonitor lalu lintas pelayaran
·         Melakukan efisiensi dalam navigasi
·         Pengamatan dan pendeteksian jejak kapal dalam cakupan VTS
·         Pengaturan informasi umum dan khusus
3.       SRS (ship reporting system)
·         Menyediakan informasi up to date atas gerakan kapal
·         Meningkatkan  interval waktu kontak dengan kapal
·         Menentukan lokasi dengan cepat bila kapal dalam keadaan bahaya
·         Meningkatkan keamanan dan keselaamtan
4.       Long range indentification and tracking of Ships (LRIT)
·         Mendeteksi kapal secara dini dan fungsi SAR


GMDSS (global maritime distress and safety system)
GMDSS (global maritime distress and safety system) merupakan konvensi internasional mengenai prosedur keselamatan, jenis perangkat dan protocol Komunikasi dalam rangka meningkatkan keselamatan navigasi dan kemudahan penyelamatan (SAR) dalam pelayaran, dan merupakan standar yang paling banyak dipakai dalam dunia maritim:
1.       EPIRB (emergency position indicating radio beacon)
Sebuah radio beacon  beroperasi pada frekuensi transmit 406 MHz dan 1.6 GHz yang dapat diterima oleh satelit COSPAS-SARSAT (satelit internasional yang berfungsi sebagai sistem SAR) berisi sinyal data identifikasi registrasi sebuah kapal dan koordinat posisi kapal secara akurat, bentuknya seperti pelampung dapat mengapung diatas perairan.
2.       Navtex (Navigational Telex)
Berfungsi untuk mengirim pesan data ke coast station maupun antar vessel stasion melalui perantaraan satelit GEO Inmarsat C untuk mengirim sinyal bahaya, radio navigasi, peringatan, informasi keselamatan maritime seperti keadaan cuaca buruk, gelombang tinggi dan posisi bongkahan es.
3.       Inmarsat receiver/ International Maritime Satellite receiver
Bila penggunaan radio HF  tidak memungkinkan lagi dan berada di wilayah cakupan satelit Inmarsat. Mempunyai bentuk  yang sama dengan Navtex namun lebih ringan dan portable serta menampilkan informasi yang tidak terdapat dalam Navtex.
4.       SART (search and rescue transponder).
Radio transceiver yang dapat memancarkan sinyak berupa rangkaian titik yang dapat ditangkap oleh radar kapal lain ketika terjadi kecelakaan serta bisa digunakan untuk mendeteksi posisi kapal lain yang menggunakan SART, radius jangkauan 8 Nm / 15 Km, beroperasi pada frekuensi 9 GHz.
5.       DSC (Digital selective calling ).
Transceiver komunikasi radio yang menggunakan band MF. HF dan VHF sebagai radio teleponi dan  NBDP/ Narrow band direct printing sebagai  radio telex. DSC merupakan perangkat radio standar IMO yang dilengkapi dengan 9 digit MMSI (mobile maritime service identity).


GMDSS untuk stasiun kapal (vessel station)
GMDSS untuk stasiun kapal (vessel station) terbagi menjadi  4 area, yaitu (acc.  resolution A801, radio service for GMDSS, England, 23 November 1995):
1.       Area A1
Radius 20 sd 30 Nautical Mile (37 - 55.5 km) dari stasiun pantai
Berada dalam jangkauan VHF stasiun pantai
2.       Area A2
Berada diluar area A1 dengan radius 30 sd 150 Nm (277.8 km) dari stasiun pantai
Berada dalam jangkauan HF dan MF stasiun pantai


1.       Area A3
Berada diluar area A1 dan A2 dalam jangkauan satelit Inmarsat
Cakupan satelit GEO Inmarsat ; 70^ LU sd 70^ LS
2.       Area A4
Berada diluar area A1, A2  dan A3
Daerah kutub utara/selatan ; >70^ LU/LS
Dibawah ini peta radio service GMDSS Area A1  di masing-masing SROP untuk wilayah Indonesia :
NB: tanda merah & pink untuk jangkauan Komunikasi pita VHF dari SROP

Dibawah ini peta radio service GMDSS Area A2  di masing-masing SROP untuk wilayah Indonesia :
NB: tanda biru & ungu untuk jangkauan Komunikasi pita MF dari SROP

Adapun perangkat telekomunikasi per area yang wajib di miliki oleh setiap kapal untuk fungsi GMDSS adalah:
1.       Pada area A1, kapal dapat menggunakan EPIRB  frekuensi 406 MHz maupun VHF DSC EPIRB serta transceiver Komunikasi VHF mobile maritime 156 MHz s.d 162 MHz.
2.       Pada area A2, kapal wajib memiliki perangkat telekomunikasi tambahan
a.       Satu set transceiver  MF  pada frekuensi  2.1875 MHz  dan HF pada frekuensi  8.4145 MHz menggunakan sistem DSC
b.      Satu set transceiver  HF untuk distress DSC 4.2075 MHz, 6.3120 MHz,  12.5770 MHz dan 16.8045 MHz.
c.       Satu set transceiver  MF pada frekuensi  2.182 MHz  menggunakan sistem radio teleponi
d.      Satu set EPIRB pada frekuensi  406 MHz
e.      Satu set radio transceiver HF / MF yang beroperasi pada frekuensi  1.605 MHz s.d 27.5 MHz untuk  Komunikasi radio maupun telegraph / NDBP (Narrow  band direct printing).
3.       Pada area A3, kapal harus mempunyai
Semua perangkat pada area A1 dan A2 serta
Satu perangkat receiver satelit Inmarsat C.
4.       Pada area A4,
Semua perangkat pada area A1, A2 dan A3

GMDSS (global maritime distress and safety system) untuk station radio pantai / SROP (coast station)
Persyaratan dan standar peralatan Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) yang digunakan oleh Stasiun Radio Pantai (SROP), wajib memiliki peralatan telekomunikasi-pelayaran:
a. Radio VHF DSC menggunakan perangkat radio VHF yang mampu melakukan komunikasi pada frekuensi bahaya channel 16 (156,800 MHz) dan VHF DSC pada channel 70 (156,525 MHz) di pita frekuensi (band) 156 – 174 MHz. (sesuai artikel 52 dan appendix 18);
b. Radio MF DSC menggunakan perangkat radio MF DSC yang mampu melakukan komunikasi pada frekuensi bahaya 2182 KHz dan DSC pada frekuensi 2187,5 KHz di pita frekuensi (band) 1605 – 4000 KHz.(sesuai artikel 52 dan Appendix 25);
c. Radio HF DSC menggunakan perangkat radio HF DSC yang mampu melakukan komunikasi pada frekuensi bahaya 4125 KHz dan/atau 6215KHz dan/atau 8291 KHz dan/atau 12290 KHz dan/atau 16240 KHz dan DSC pada frekuensi 4207,5 KHz dan/atau 6312 KHz dan/atau 8414,5 KHz dan/atau 12577 KHz dan/atau 16804,5 KHz di pita frekuensi (band) 4000 – 27500 KHz (sesuai artikel 52 dan Appendix 25);
d. Media komunikasi meliputi radio link, dan/atau kabel, dan/atau serat optik dan/atau nirkabel; dan
e. komunikasi data  internet dan saluran telepon melalui jaringan Komunikasi umum.

Jumlah Stasiun Radio Pantai GMDSS di Indonesia sesuai lampiran KM 30 sampai dengan tahun 2011, telah terpasang Stasiun Radio Pantai GMDSS sebagai berikut :
·         66 SROP dengan Area A1
·         54 SROP dengan Area A2
·         12 SROP dengan Area A3
·         4 SROP transmit Maritime Savety Information (MSI-NAVTEX)

Pita frekuensi untuk keperluan Dinas Maritime (band MF, HF dan VHF) bila diringkas seperti tabel dibawah ini:
Pita Frekuensi
Frekuensi
Aplikasi
MF
490 kHz, 518 kHz
MSI (Maritime Safety Information)
MF
2174.6 kHz
NBDP Marabahaya
MF
2182 kHz
Teleponi radio J3E marabahaya
MF
2187.5 kHz
DSC (Digital Selective Calling)
HF
4000 - 4438 kHz
DSC HF = 4207.5 kHz. Calling, Distress, Safety  = 4125/4417 kHz
HF
6200 – 6525 kHz
DSC HF = 6312.0 kHz. Calling, Distress, Safety  = 6215/6516 kHz
HF
8101 – 8815 kHz
DSC HF = 8414.5 kHz. Calling, Distress, Safety  = 8255/8779 kHz
HF
12230 – 13200 kHz
DSC HF = 12577.0 kHz. Calling, Distress, Safety  = 12290/13137 kHz
HF
16360 – 17410 kHz
DSC HF = 16804.5 kHz. Calling, Distress, Safety  = 16420/17302 kHz
HF
18780 – 19800 kHz
Calling, Distress, Safety  = 18795/19770 kHz
HF
22000 – 22855 kHz
Calling, Distress, Safety  = 22060/22756 kHz
HF
25070 – 26175 kHz
Calling, Distress, Safety  = 25097/26172 kHz
VHF
156 – 162.05 MHz
DSC VHF Channel 70 (156.525 MHz)
Calling, Distress, Safety  VHF Channel 16 (156.800 MHz)
Intership Navigation VHF Channel 13 (156.650 MHz)































Radio services GMDSS SROP Panjang wilayah Lampung
Dibawah ini peta radio service GMDSS Area A2  di masing-masing SROP untuk wilayah Indonesia :
NB: tanda biru & ungu untuk jangkauan Komunikasi pita MF dari SROP
Gangguan Frekuensi Maritim yang biasa terjadi
  • Adanya laporan gangguan pada frekuensi VHF amatir (144-148 MHz) yang diidentifikasikan berasal dari pengguna maritime.
  • Adanya laporan gangguan pada frekuensi HF penerbangan  yang diidentifikasikan berasal dari pengguna maritime.
  • Adanya informasi tentang kapal yang selain membawa perangkat komunikasi untuk pita frekuensi maritim, juga membawa perangkat amatir, dan perangkat KRAP
  • Temuan di lapangan penggunaan perangkat komunikasi radio VHF amatir untuk komunikasi pelayaran rakyat (nelayan) karena harga perangkatnya lebih murah dibanding perangkat radio maritim.
  • Teridentifikasinya penggunaan perangkat beacon yang ternyata telah obsolete penggunaannya di internasional


Monitoring Frekuensi Maritim
Titik pemantauan frekuensi maritime di wilayah Lampung terutama untuk pita VHF dan MF (berdasarkan pada kepadatan trafik pelayaran dan letak pelabuhan)


Penjelasan:
Area Monitoring  1 daerah pelabuhan bakauheni Kab. Lampung selatan
Area Monitoring  2 daerah pelabuhan panjang  dan SROP Panjang Kota Bandar Lampung
Area Monitoring  3 daerah pelabuhan Kota Agung Kab. Tanggamus
Area Monitoring  4 daerah pelabuhan labuhan maringgai dan kuala penet Kab. Lampung Timue
Area Monitoring  5 daerah pelabuhan krui Kab. Pesisir Barat

 Untuk monitoring pita HF tidak mengacu pada area monitoring di atas karena sifat propagasi ionosfer nya, jadi untuk monitoring HF maritime bisa dilakukan di manapun juga.